HARUS BAGAIMANA LAGI MEREKAYASA SEPAKBOLA KITA? 

Saat mengetahui keputusan FIFA mengenai pembatalan status tuan rumah bagi Indonesia dalam turnamen Piala Dunia U-20, saya tidak begitu kaget. Ada beberapa hal yang mendasari ketidakkagetan saya itu. Salah satunya yang sudah saya cuitkan di akun Twitter saya; FIFA masih menyimpan catatan mengenai Tragedi Kanjuruhan. Tentu saja, dugaan saya itu sangat bisa diperdebatkan. Toh mau berdebat bagaimana pun, faktanya Indonesia sudah resmi batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.

Sebagai Jamaah Maiyah, kita sudah mempeljari bahwa untuk melihat sebuah persoalan, tidak mungkin hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Bahkan, di Maiyah kita pun sudah mempelajari tentang jarak pandang, resolusi pandang, lingkar pandang hingga bulatan pandang. Jika menggunakan ilmu modern, ada satu metode yang bisa juga kita pakai; Iceberg Model System Thinking. Sebuah metode yang melatih kita untuk tidak hanya melihat apa yang ada di permukaan saja. Sebenarnya sama saja, intinya kita jangan hanya melihat sebuah permasalahan dari yang tampak di permukaan saja.

Beberapa tahun terakhir, kita selalu terjebak pada isu-isu yang di permukaan saja. Kita tidak terlatih untuk menelisik lebih jauh apa sebenarnya inti dari persoalan yang dihadapi. Ketika sebuah isu menjadi viral diperbincangkan, paling jauh kita kemudian menduga bahwa sebuah isu sengaja dinaikkan dan diperbincangkan untuk mengalihkan isu besar lain agar tidak diperbincangkan. Padahal, semua isu juga memiliki porsinya untuk diperbincangkan. Ternyata, kita sangat mudah untuk dialihkan perhatiannya hanya dengan isu-isu yang dibicarakan oleh banyak orang. Dengan sesuatu yang viral, kita sangat mudah terdistraksi dari fokus utama kita sendiri. Benar adanya bahwa banjir informasi sangat melelahkan kita, tetapi tidak dibenarkan juga untuk membenarkan betapa mudahnya kita untuk terprovokasi.

Kembali mengenai batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Bahkan sebelum kita mendengar penolakan kedatangan Israel, jika kita mau memperhatikan informasi yang beredar, ada banyak hal yang semestinya menjadi perhatian kita untuk setidaknya memiliki data yang lebih valid mengenai sebab-sebab dibatalkannya status tuan rumah bagi Indonesia dalam turnamen ini. Pun andaikan memang penolakan Israel menjadi isu utama, Pemerintah sebenarnya sudah melakukan langkah-langkah yang tepat untuk tetap mengusahakan agar gelaran Piala Dunia U-20 tetap terselenggara di Indonesia.

Sementara itu, berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa mengenai infrastruktur venue pertandingan di awal Maret lalu masih akan diaudit ulang oleh FIFA. Terlepas pada akhirnya LOC Piala Dunia U-20 bersama Pemerintah memastikan baru-baru ini bahwa seluruh infrastruktur itu dinyatakan siap, tidak menggugurkan fakta bahwa FIFA melakukan audit ulang pada awal Maret lalu.

Kita tidak perlu membahas kasak-kusuk mengenai polemik mengapa PDIP sebagai partai penguasa justru turut andil dalam pembatalan status tuan rumah Indonesia ini. Bahkan bagi sebagian orang, andil PDIP adalah yang terbesar. Namun, biarkan saja pembahasan itu menjadi pembahasan politik di wilayahnya sendiri.

Ketika merenungkan situasi sepakbola nasional kita hari ini, saya selalu teringat buku Mbah Nun yang berjudul Bola-Bola Kultural. Dan selalu saja ada benang merah apa yang dituliskan oleh Mbah Nun dalam buku tersebut dengan situasi terkini sepakbola nasional kita.

Ada salah satu judul tulisan dari buku tersebut yang berjudul “Rekayasa Untuk Sepakbola Indonesia”. Dalam tulisan tersebut, Mbah Nun memberikan gagasan mengenai konsep sepakbola di Indonesia dengan 3 konsep; Sepakbola Rakyat, Sepakbola Negara, dan Sepakbola Perusahaan (industri). Bagi Mbah Nun, 3 konsep ini adalah konsep yang tidak bisa dihindari untuk dijadikan dasar pengelolaan sepakbola di Indonesia.

Jangan kita memaknai dengan negatif terhadap kata “rekayasa” terlebih dahulu. Tidak semua yang disebut dengan rakayasa adalah sesuatu yang buruk. Tergantung bagaimana kita menggunakan kata tersebut. Jika Anda kuliah di jurusan IT, ada mata kuliah Rekayasa Perangkat Lunak. Apakah itu bermakna negatif? Tentu saja tidak.

Kembali kepada gagasan Mbah Nun tadi di awal. Jika kita memilih untuk tidak merekayasa sepakbola kita maka sepakbola yang paling tepat adalah sepakbola alamiah atau sepakbola kultural di kampung-kampung yang mekanismenya tidak memfokuskan diri pada keunggulan dan prestasi rasional, melainkan yang diutamakan adalah persahabatan, kemesraan dan kenikmatan komunal.

Apakah di sepakbola modern ini FIFA tidak mengusung semangat-semangat kultural itu? Tentu saja iya. Kita mengenal campaign FIFA Fairplay, misalnya. Ada juga campaign FIFA yang mengankat isu anti rasialisme; Say no to racism. Dan ada banyak lagi campaign yang dijalankan oleh FIFA yang mengusung semangat kemanusiaan secara kultural itu tadi. Persoalannya kemudian adalah bahwa FIFA sangat menguasai industri sepakbola di dunia saat ini. Dan itu menjadi bahasan tersendiri yang bisa kita bicarakan di lain waktu.

Bagaimana kemudian Indonesia sebagai Negara menyikapi situasi sepakbola hari ini dengan dibatalkannya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20?

Secara prestasi, harus kita akui bahwa kualitas sepakbola kita masih belum beranjak dari level Asean. Bahkan untuk sekadar Juara Piala AFF saja kita belum mampu. Hanya pada kelompok usia saja kita sempat mengukir prestasi; Piala AFF U-19 (2013) dan Piala AFF U-22 (2019). Untuk level timnas senior, kita sudah sangat lama tidak berprestasi. Jika kita berbicra supremasi sepakbola, tentu kebanggaan utamanya adalah prestasi sepakbola tim nasional senior.

Satu hal yang cukup menarik dari feedback yang disampaikan pemerintah Indonesia pasca keputusan FIFA minggu lalu adalah instruksi Presiden RI kepada Ketua Umum PSSI untuk segera menyusun cetak biru transformasi sepakbola di Indonesia. Namanya cetak biru, atau blue print, maka yang harus kita fahami adalah akan ada proses panjang yang harus dijalani oleh Indonesia untuk sampai pada akhirnya mengukir sebuah prestasi.

Jepang menyusun cetak biru sepakbola mereka tanpa harus menjadikan sepakbola sebagai olahraga paling favorit di sana. Dan kita tahu olahraga paling favorit di Jepang adalah baseball. Sepakbola hanya menempati peringkat ketiga. Tapi Jepang memiliki timeline yang jelas, kapan mereka menargetkan untuk tampil di Piala Duni bahkan sampai tahap kapan target mereka untuk menjadi Juara Dunia. 

Jerman bisa menjadi salah satu contoh juga. Meskipun Jerman berangkat dari negara yang sepakbolanya sudah maju, pasca kegagalan mereka di Piala Eropa 2000 mereka mencanangkan rencana jangka panjang, yang 14 tahun kemudian di tahun 2014 Jerman berhasil menjadi Juara Dunia.

Indonesia sendiri memiliki filosofi Filanesia sebuah filosofi yang disebut-sebut sebagai filosofi yang paling cocok untuk membangun fondasi dan karakter sepakbola Indonesia. Tapi apakah cukup itu saja? Tentu tidak. Pengembangan sepakbola kita masih membutuhkan waktu dan persiapan yang cukup lama. Di sisi lain, Tragedi Kanjuruhan juga tidak serta-merta menyadarkan suporter sepakbola kita untuk melakukan revolusinya sendiri. Masih saja terjadi bentrokan antar supporter di stadion saat pertandingan sepakbola berlangsung.

Sementara itu, kepentingan politik masih saja terus membayangi sepakbola di Indonesia. Bahkan sepertinya mustahil untuk memisahkan sepakbola Indonesia dari kepentingan politik. Entah rekayasa sepakbola seperti apalagi yang dibutuhkan oleh Indonesia. Pada akhirnya kita pun hanya menjadi penonton saja. Dan kita harus semakin tahu diri bahwa PR sepakbola kita itu masih sangat banyak. []

Credit foto: Dino Januarsa – Pexels

Lihat juga

Back to top button